Cerpen: Last Night Before Christmas (by. Elisabeth)

Cerpen: Last Night Before Christmas
Author: Elisabeth



Aku tahu waktu tidak bisa diputar kembali. Awal memiliki akhir. Dan setiap pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Tapi pertemuan ini terlalu singkat. Hanya sesaat saja bersamanya setelah itu waktu memisahkan selamanya. Waktu mungkin terlalu kejam bagiku! Tapi waktu tidak memahami apa itu kejam, ia hanya tidak bisa menunggu. Dan itu mengajariku satu hal, " Jangan menunda apapun yang ingin kau katakan, katakan segera. Sebelum semuanya terlambat! Dan sesal yang tersisa! "


*****



Tokyo, November 1999


Angin musim gugur terasa begitu dingin menyengat kulit. Ku rapatkan mantel kulit coklat favoritku. Keluar rumah dengan cuaca dingin seperti ini memang bukan kegemaranku. Meski aku lahir dibulan Desember ketika salju sedang turun. Tapi aku tetap tidak suka musim dingin.
Aku tiba disebuah coffee shop. Tanganku yang dari tadi nyaman didalam saku mantel terasa membeku ketika menyentuh gagang pintu besi yang dingin. Gemerincing lonceng berbunyi ketika pintu itu terbuka. Aku melangkah masuk dengan diikuti tatapan sinis seorang gadis berseragam waitress yang berdiri didepan meja barista sambil memangku tangan.

" Naoki, dari mana saja kau? Kau terlambat lima menit! " seru gadis bernama Tory, teman dekatku yang memberiku pekerjaan disini.

" Maaf, maaf! Besok aku pasti akan datang tepat waktu! " janjiku.

" Aku tidak mau gara-gara kau, aku harus berurusan dengan bos. Baiklah, sekarang cepat ganti pakaianmu! Banyak pengunjung hari ini. " perintah Tory kemudian ia melangkah pergi.

Aku bergegas ke ruang ganti. Dengan secepat kilat memakai seragam waiter ku. Ini hari pertama aku bekerja disini. Sebagai pekerja paruh waktu. Tugasku hanya melayani pengunjung dan mengantar pesanan. Bukan pekerjaan sulit tapi cukup melelahkan.
Aku selesai kerja pukul 9 malam. Aku ke ruang ganti mengganti pakaian. Begitu kembali, Tory berdiri didepan meja barista.

" Bagaimana hari pertamamu? " tanya Tory lebih ramah dari pada tadi.

" Lumayan melelahkan! " jawabku.
Tory tersenyum.

" Ini belum seberapa! Nanti kau akan lebih kewalahan! " ejeknya.

" Ehem.. Waktunya pulang, anak-anak! " sambil berdehem si bos muncul dari dalam.

" Naoki, ingat besok jangan terlambat! " pesannya.

" Siap, bos! " jawabku tegas.

" Ayo pulang. " ajak Tory. Ia berjalan duluan mendahuluiku.


***



Tepat pukul 3 sore aku berangkat dari rumah. Aku sangat yakin hari ini tidak akan terlambat. Perjalananku hanya butuh waktu 30 menit sementara jam kerja ku dimulai pukul 4. Dengan santai aku melangkahkan kaki sambil menikmati pemandangan musim gugur sepanjang jalan. Sampai dipersimpangan jalan raya. Aku menunggu lampu penyeberangan pejalan kaki menyala untuk menyeberang. Sore begini masih banyak pejalan kaki yang berlalu lalang. Aku tiba diseberang jalan. Banyak toko berjejeran disini. Aku melihat-lihat kedalam etalase toko yang mulai berhiaskan ornamen merah dan hijau Natal. Musim gugur sebentar lagi berlalu. Musim dingin akan tiba disertai bulan kelahiranku. Aku bertambah tua lagi.
Aku tersenyum sendiri memikirkan hal itu. Mataku masih asyik menjajali tiap etalase toko yang ku lewati sampai tanpa sadar bertabrakan dengan seorang pejalan kaki lain. Kertas dan buku bertebaran diatas jalan. Gadis itu langsung berjongkok memungutnya dengan cepat. Aku segera membantunya.

" Maaf, maaf aku tidak sengaja menabrakmu! " kataku berkali-kali meminta maaf sambil membantunya memungut kertas-kertas yang bertebaran dijalan.

" Tidak apa-apa. Salahku juga tidak melihat jalan! " jawab gadis itu.

Begitu ia mengangkat kepalanya aku tertegun menatapnya. Ia berdiri dan tersenyum tipis padaku.
" Permisi! Aku buru-buru! " katanya sambil berlalu dengan cepat.

Sementara aku terbengong seperti orang bodoh. Setelah ia pergi jauh aku baru sadar beberapa kertas miliknya masih ada ditanganku. Aku ingin mengejarnya tapi ia sudah tak terlihat lagi. Jadinya aku menyimpan kertas itu dan memasukkannya kedalam saku mantel. Kini wajah manis gadis itu memenuhi pikiranku. Aku memiringkan kepala merasa aneh sendiri dengan diriku.
Aku mengeluarkan lembaran kertas milik gadis yang ku tabrak sore tadi dari saku mantel. Ku baca tiap judul tulisan di kertas itu. Aku tahu judul-judul yang tertera dikertas ini. Ini judul lagu Natal lengkap dengan chord piano-nya. Apa gadis itu seorang pianis? Bulan depan sudah Desember. Ia pasti membutuhkan ini. Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkin ia sedang mencari-cari kertas ini. Tapi bagaimana caranya aku mengembalikannya?! Ku letakkan empat lembar kertas itu diatas meja. Kemudian naik ke atas tempat tidur.


***


Selama beberapa hari ini aku terus membawa kertas milik gadis misterius itu didalam saku mantel. Berharap mungkin aku akan bertemu dengannya lagi dijalan. Dan aku bisa langsung mengembalikannya. Pandanganku lebih terfokus ke sekitaran jalan yang ramai orang berjalan kaki. Meski masih belum menemukan gadis itu.

Sore ini pengunjung cafe cukup ramai. Aku harus bekerja lebih cepat. Banyak pesanan yang harus ku antar ke meja tamu. Cuaca diluar memang agak dingin. Tidak heran banyak yang datang sekedar menikmati minuman hangat. Aku benar-benar terburu-buru. Berjalan dengan cepat dengan nampan berisi secangkir coklat hangat menuju meja di sudut cafe. Aku menemukan nomor meja yang ku tuju. Seorang gadis dengan jaket beludru menatap keluar dinding kaca. Rambut hitam panjangnya menutup separuh wajahnya. Ku letakkan cangkir coklat dengan pelan diatas meja nya.

" Maaf, membuat anda menunggu! Ini pesanan anda! " sapaku dengan sopan.

Gadis itu menoleh. Mata hitam bulatnya menatapku kemudian senyumnya mengembang. Mulutku terbuka membentuk huruf o melihat siapa gerangan gadis itu.
" Kau... " aku menunjuk padanya.

Gadis itu kembali tersenyum.
" Kau yang menabrakku itu kan?! " tanya gadis itu.

Aku mengangguk dengan cepat.
" Iya.. Iya.. Oh apa kau mencari kertasmu yang tercecer kemarin? Aku akan mengembalikannya padamu! " kataku segera.

Gadis itu mengerutkan kening nampak bingung. Namun cafe terlalu ramai untuk aku bisa berbicara lebih lama dengan gadis itu. Tory sudah memanggilku dari balik meja Barista.
" Maaf, aku sangat sibuk! Bisakah kau menunggu sebentar? Nanti aku akan kembali. " kataku pada gadis itu.

Sementara aku kembali pada kesibukanku. Sungguh pertemuan yang tak terduga. Ingin segera ku selesaikan pekerjaan ini. Tapi tamu yang datang semakin banyak, sehingga aku tak punya kesempatan untuk berbicara dengan gadis itu lagi. Aku hampir melupakannya dikarenakan kesibukanku. Ketika aku kembali teringat pada gadis disudut meja itu, gadis itu sudah tidak ada disana. Apa ia sudah pergi? Ah, kapan aku bisa bertemu dengannya kembali? Aku merasa kecewa.


Cafe sudah tutup. Aku membawa kantong sampah ke luar melalui pintu belakang cafe untuk dibuang. Aku berjalan pulang memutar melintasi depan cafe. Nampak seorang gadis berdiri didepan cafe yang sudah tutup. Aku berjalan semakin dekat. Itu gadis yang ku tabrak. Ia tersenyum begitu melihatku. Dan mengikuti langkahku.

" Kau sedang apa malam-malam disini? " tanyaku padanya.

" Tadi sore kau suruh aku menunggu kan! Ku lihat kau sibuk sekali jadi aku pergi. Sebelumnya aku bertanya pada waitress dicafe itu jam tutup disini, jadi aku putuskan kembali saat kau selesai kerja! " jawab gadis itu.

Aku manggut-manggut mengerti. Gadis yang pengertian.
" Oh iya.. " aku merogoh saku mantelku lalu mengeluarkan lembaran kertas yang beberapa hari ini kubawa-bawa.
" Ini.. Kemarin tercecer saat kita bertabrakan. Aku ingin kembalikan padamu tapi tidak tahu bagaimana mencarimu! " kataku sambil menyerahkan lembaran kertas yang sudah tergulung rapi.

Gadis itu menerimanya.
" Jadi maksudmu menyuruhku menunggu tadi untuk mengembalikan ini?! " tanyanya.

Aku mengangguk.
" Aku bahkan tidak sadar kalau ada yang terjatuh! " sahut gadis itu kemudian.

" Oh ya, kita belum saling kenal! Siapa namamu? Namaku Naoki! " kataku sambil mengenalkan diri.

" Aku Kanaye! " jawab gadis manis itu.

" Senang berkenalan denganmu, Kanaye! " balasku. Kanaye mengangguk.

" Apa kau seorang pianis? " tanyaku menjawab rasa penasaran dihatiku.

" Bukan. Kenapa kau mengira begitu? " jawab Kanaye.

" Aku lihat chord lagu Natal milikmu! " ujarku.

" Aku guru TK. Bulan depan anak muridku akan tampil mengisi pertunjukan Natal. Aku yang akan memainkan musik pengiringnya. " jelas Kanaye.

" Wah... Jadi kau guru TK?! " seruku. Sangat kagum pada gadis manis yang berjalan disampingku ini. Tak menyangka ia seorang guru.
Kanaye tersenyum malu-malu.
" Apa aku bisa ikut menonton? " tanyaku.

" Tentu saja! Pertunjukannya digelar digedung teater. Jadi terbuka untuk kalangan umum. Banyak yang akan tampil, bukan hanya anak muridku saja. " jawab Kanaye menjelaskan.

" Tetap aku akan datang menonton! " janjiku.

" Aku tunggu! " sahut Kanaye.
" Jadi kau bekerja di cafe itu? " tanyanya kemudian.

" Hanya kerja paruh waktu. Aku belum menemukan pekerjaan yang cocok. Lagi pula aku masih baru kerja disana! " jawabku malu-malu. Rasanya pekerjaanku sangat jauh 'gemilang' dibawah pekerjaan Kanaye.

Gadis itu cuma manggut-manggut. Kami berjalan dibawah gemerlapan cahaya malam. Hari memang cukup larut tapi keramaian jalanan kota tidak pernah surut. Aku menawari Kanaye mengantarnya pulang. Awalnya ia menolak tapi aku katakan aku tidak bisa tenang kalau membiarkan seorang gadis pulang sendirian malam-malam. Ia pun menyetujui. Berita bagusnya aku jadi tahu alamat rumahnya serta sekolah dimana ia mengajar. Aku bisa menemuinya lagi.


Sejak pertemuan malam itu, aku jadi sering bertemu dengannya. Beberapa kali keluar bersama. Kami pun semakin akrab. Seiring waktu semakin banyak yang ku ketahui tentang dirinya. Aku mengenalinya lebih baik lagi. Aku sangat kagum padanya. Gadis yang lebih muda dua tahun dariku, bukan hanya karna ia seorang guru TK yang pandai bermain piano. Tapi ia juga mandiri dan dewasa. Ia meninggalkan kampung halamannya di Hokkaido, bersama kakaknya pergi ke Tokyo. Bekerja sendiri untuk membiayai kuliahnya hingga selesai. Sekarang ia memiliki pekerjaan yang bagus. Dan orang tua nya di Hokkaido amat bangga padanya. Dibandingkan aku yang lahir di Tokyo, aku sungguh merasa kecil didepannya. Aku tinggal bersama orang tuaku, mereka membiayai segala keperluan dan pendidikan, bahkan sekarang aku pun belum bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup menjanjikan untuk membuat mereka bangga. Tentu aku masih harus terus berusaha.



Salju pertama turun di awal Desember. Udara semakin dingin. Beruntung didalam cafe ini ada penghangat ruangannya. Pengunjung tetap ramai seperti biasanya. Aku sedang mengantar pesanan ke meja sudut samping dinding kaca. Seorang gadis menatap ke luar kaca.

" Ini pesanan anda, nona! " sapaku ramah sambil meletakkan cangkir coklat hangat ke meja.

Kanaye menoleh dan mengembangkan senyumnya padaku.
" Kanaye! " seruku. Ini kedua kalinya ia datang ke cafe.

" Terima kasih, Naoki! " ucap Kanaye sambil mengangkat cangkir coklatnya.

" Maaf tidak bisa menemanimu, aku sangat sibuk! " kataku penuh sesal.

" Aku mengerti. Aku datang untuk menikmati coklat hangat ini! " jawab Kanaye tapi pandangannya menatap kepadaku.

Aku tersenyum dan berlalu. Pesanan pengunjung sudah menunggu untuk di antar. Aku tidak tahu berapa lama Kanaye duduk disana. Aku terlalu sibuk mondar-mandir mengantar pesanan sampai tak sempat menoleh ke meja nya.
Aku merenggangkan kedua tanganku. Rasa lelah menutup hari ini. Tory muncul dari dalam dengan barang bawaannya. Setelah ia memastikan semua lampu dalam ruangan telah padam ia mengajakku pulang. Kami keluar dari pintu depan. Di luar sana Kanaye sedang menunggu. Ia menoleh begitu aku keluar. Tory masih sedang mengunci pintu. Aku pamit jalan duluan padanya. Kemudian aku pergi bersama Kanaye.
Salju tidak lagi turun, tapi menyisakan sedikit titik-titik putih disepanjang jalan. Udaranya tetap saja dingin menusuk kulit. Aku menggigil, ku rapatkan mantelku dan memasukkan kedua tanganku kedalam saku mantel. Kanaye nampak tidak terpengaruh dengan cuaca seperti ini. Meski ia berpakaian hangat lengkap dengan sarung tangan.

" Cuaca dingin seperti ini kau masih suka keluar rumah malam-malam? " tanyaku berbasa-basi.

" Aku sedang tidak ada kerjaan. Lagi pula aku tidak takut dingin. Pemandangan malam lebih indah disini. " jawab Kanaye sambil memperhatikan langit-langit kota yang berhiaskan lampu warna-warni.

" Kalau aku malah tidak tahan dengan cuaca dingin. Padahal aku lahir dibulan Desember! " kataku.

Perhatian Kanaye langsung beralih padaku. Dengan semangat dan antusias ia bertanya,
" Benarkah? Jadi sebentar lagi kau ulang tahun?! Tanggalnya berapa? "

" Kenapa kau begitu semangat? " tanyaku merasa lucu dengan gadis ini.

" Aku suka dengan pesta ulang tahun. Apalagi dibulan Desember! " jawab Kanaye dengan wajah riang seperti anak kecil akan mendapat kado Natal.

" Memangnya ada apa dengan bulan Desember? " tanyaku menggoda.

" Banyak. Menurutku Desember itu bulan yang paling menakjubkan. Bulan yang penuh kebahagian, suka cita, dan kedamaian. Kau lihat semua orang diseluruh dunia bersuka cita dibulan ini menyambut kelahiran Sang Juru Selamat ke dunia ini. Ah aku bicara terlalu banyak ya! Jadi katakan padaku kapan kau ulang tahun? " jawab Kanaye dengan mata berbinar-binar.

" Rahasia. Nanti kau akan tahu! " jawabku sambil tertawa menggodanya.

" Naoki... Beritahu aku! " seru Kanaye. 

Namun aku enggan memberitahunya.
Kami sampai disebuah taman bermain. Kanaye duduk disebuah ayunan. Aku duduk di ayunan sebelahnya. Pelan-pelan ia mengayunkan kakinya. Ayunan bergerak perlahan. Ia tersenyum dengan ceria. Aku terus memperhatikannya. Ada begitu banyak kebahagiaan diwajahnya. Ia seperti malaikat yang turun ke bumi membawa kebahagiaan dalam kehampaan hidupku. Hidupku? Aku mengulangi kata itu. Entah sejak kapan aku merasa demikian. Ada sesuatu yang sulit aku jelaskan saat aku bersamanya. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tapi aku tidak berani berharap banyak kalau ia merasakan hal yang sama denganku. Melihatnya seperti sekarang saja cukup membuatku senang.
Kanaye menghentikan ayunannya. Ia memandangku dengan penuh tanya.

" Kenapa menatapku begitu, Naoki? " tanyanya.

Aku cepat-cepat memalingkan muka. Malu kalau ketahuan olehnya aku menatapnya.

" Eh.. Tidak apa-apa. " jawabku gugup.

" Benarkah? " tanya Kanaye meyakinkan sekali lagi.

" Iya. " jawabku.

Kemudian Kanaye tertawa keras.
" Kenapa kau tertawa? " tanyaku aneh.

" Kau ini lucu sekali, Naoki! " ejek Kanaye. Ia kembali tertawa. Aku pun ikut menertawakan diriku sendiri.


***


Halaman sekolah nampak sangat sepi. Aku berjalan-jalan disekitaran taman. Suara ribut anak kecil didalam kelas terdengar sampai di koridor. Seharusnya mereka sudah libur. Tapi mungkin beberapa diantara nya sedang latihan untuk acara Natal. Langkahku berhenti disamping sebuah ruang kelas. Aku menoleh ke balik jendela. Didalam ruang itu ada belasan murid yang sedang bernyanyi. Dan seorang gadis bermain piano mengiringi mereka. Gadis itu ikut bernyanyi bersama sambil tersenyum. Ia tidak tahu aku menatapnya dari luar sini.
Aku menunggu didepan gerbang sekolah. Saat Kanaye lewat aku memanggilnya.
" Kanaye.. "

Ia berhenti.
" Naoki?! Kau tidak bilang akan ke sini? " ujar Kanaye.

" Aku sengaja tidak memberitahumu! " jawabku.

" Kalau begitu pasti ada sesuatu kalau kau sampai datang menemuiku disini! " terka Kanaye.

Aku tertawa.
" Apa hanya kau saja yang boleh menemuiku ditempat kerja malam-malam? " singgungku.

" Oh baiklah, ayo pulang! Aku tidak mau habiskan waktu berdiri disini. " ujar Kanaye mengalihkan topik.

Ia melangkah duluan. Aku kembali tertawa penuh kemenangan.
" Apa nanti malam kau sibuk? " tanyaku setelah langkah kakiku sejajar dengannya.

" Tidak. Kenapa? " tanya Kanaye.

" Kau bisa datang ke cafe? Seperti malam biasa nya? " tanyaku lagi.

" Tentu saja. " jawab Kanaye. Ia lalu menyipitkan matanya.
" Tumben kau memintaku? Apa ada sesuatu? " tanyanya penuh selidik.

" Tidak ada! Hanya ingin mengobrol saja! " jawabku semeyakinkan mungkin.

" Sungguh? " tanya Kanaye masih curiga.

" Ya. Kau tidak percaya sekali padaku? " jawabku.

" Bukan begitu.. Aku hanya merasa 'tidak biasa' saja. " jelas Kanaye santai.
" Hmm.. Tenang saja aku pasti datang! " lanjutnya dengan senyum hangatnya yang melegakan hatiku.




" Selamat ulang tahun..... " sorakan dari teman-teman kerjaku begitu aku sampai di cafe. Membuatku agak terkejut mereka bisa tahu hari ini ulang tahunku.
Satu per satu memberiku ucapan selamat. Termasuk bos juga.

" Selamat ulang tahun ya, Naoki! Sebuah kado kecil untukmu! " ucap Tory. Ia memberikan sebuah kotak kecil dengan bungkus warna perak padaku.

" Terima kasih, Tory! " balasku.

" Apa kau yang memberitahu mereka? " tanyaku.

" Tidak juga! Bos selalu tahu hari ulang tahun pegawainya dari profil lamaran mereka. " jawab Tory.

" Oh ya, apa aku boleh minta bantuanmu? Please.. Untuk kali ini! " mohonku pada Tory.

" Bantuan seperti apa? " tanya Tory.

Aku mendekatkan wajahku ke telinganya. Lalu membisikkan semua rencana ku padanya. Tory mendengarkan dengan seksama sambil mengangguk. Sesaat berpikir sekejap ia kemudian mengiyakan. Aku spontan memeluknya amat berterima kasih padanya.



Malam telah tiba. Diluar salju sedang turun. Setelah semua pengunjung pergi dan cafe telah tutup. Meja dan lantai telah dibersihkan. Para pegawai juga telah pulang. Hanya tinggal Tory dan aku di cafe. Saat ini lah waktunya. Aku mengintip ke luar belum ada tanda-tanda kemunculan Kanaye.
Lalu Tory datang dengan nampan berisi makanan. Aku memilih meja disudut cafe, tempat biasa Kanaye duduk. Aku menghiasnya dengan bunga serta lilin. Lalu Tory menaruh makanan dan minuman untuk dua orang disana. Aku menyalakan lilin. Ini sempurna.

" Sudah seperti makan malam romantis! " puji Tory melihat 'penampakan' diatas meja.

" Sekali lagi terima kasih bantuanmu, Tory! Aku tidak bisa melakukan ini tanpamu! " kataku tulus pada Tory.

" Jadi kau akan mengungkapkan perasaanmu malam ini juga? " tanya Tory.

" Entahlah, Tory. Aku tidak berani! Aku ragu! " jawabku.

" Yakinkan dirimu! Kau harus mencobanya, kau tidak akan tahu perasaannya kalau kau tidak bertanya padanya. Lebih baik gagal daripada tidak mencoba sama sekali! " kata Tory.

" Aku... Akan berusaha! " ujarku masih penuh ragu.

" Ok. Good luck! Ingat ya, kunci pintu cafe nya setelah acara makan malammu selesai. Dan besok kembalikan kuncinya padaku! " pesan Tory.

" Baik, Tory! " jawabku.

" Aku pulang dulu! Semoga acaranya berhasil! " pamit Tory. Ia keluar dari pintu belakang.

Mendadak aku menjadi sangat gugup. Aku kembali mengintip ke luar. Ada bayangan seorang gadis di luar. Itu pasti Kanaye! Aku menguatkan diriku, setelah itu keluar menemuinya.

" Lama menunggu, Kanaye! " sapaku.

" Baru saja! " jawab Kanaye.

" Ada yang ingin ku tunjukkan padamu! Ayo! " ajakku. Dengan berani ku raih tangan Kanaye membawanya masuk kedalam cafe.

Meski tanganku kini mungkin sedingin es. Ku harap sarung tangan Kanaye cukup tebal melindunginya dari dinginnya genggaman tanganku.
Aku membawa Kanaye ke meja yang sudah aku dan Tory siapkan. Kanaye terperangah menatap semuanya. Mulutnya terbuka seolah melihat sesuatu yang berkilauan didepannya.

" Ayo duduk! " aku menuntunnya duduk. Kemudian aku duduk didepannya.
Kanaye seolah tak bisa berkata apa-apa. Ia mengangkat bahunya jelas tak mengerti dengan semua ini.
" Ada acara apa ini? " tanyanya.

" Hanya makan malam kecil! " jawabku.

Kanaye mengerutkan dahinya.
" Kalau tidak ada hari special tidak mungkin ada makan malam seperti ini! Cepat katakan padaku, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba mengajakku makan malam? " tanya Kanaye ngotot.

" Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin makan malam bersama denganmu saja! " jawabku.

" Tidak mungkin. Pasti ada sesuatu. Ayo katakan! Kalau tidak aku akan pulang sekarang juga! Dan tidak akan makan bersamamu! " ancam Kanaye. Ia sudah berdiri dengan sigap.

" Baiklah.. Baiklah.. Aku akan katakan tapi kau duduk dulu! Kau ini gadis yang keras kepala sekali ya! " ujarku sambil meyakinkan Kanaye.

Ia pun duduk kembali ke kursinya. Sementara aku masih begitu gugup. Apa aku katakan sekarang ya?
" Emm.. Sebenarnya... Aku.... Aku.... " begitu sulit mengatakannya. Dadaku tiba-tiba berdegup kencang seperti ini. Aku jadi semakin gugup.

" Sebenarnya apa? Bicara yang jelas, Naoki! " ujar Kanaye.

" Aku... Sebenarnya... Emmm... "
Kanaye memutar kedua matanya. Dan cemberut menatapku.

" Aku.... Sebenarnya hari ini ulang tahunku! " kataku akhirnya. Meski bukan itu yang ingin ku katakan.
Kanaye menganga.

" Apa? Kenapa tidak bilang dari awal? Aku jadi tidak sempat memberikan apa-apa padamu! " seru Kanaye.

" Tidak apa. Aku tidak perlu hadiah! " balasku putus asa.

Kanaye menggelengkan kepalanya.
" Kalau ulang tahun harus ada hadiah. Baiklah, aku akan memberimu hadiah walaupun telat. Jadi aku ucapkan selamat ulang tahun padamu dulu! " ujar Kanaye.

" Terima kasih, Kanaye! " balasku.

" Happy Birthday to you... Happy Birthday to you... Anata ni okuru bāsudi songu yo.. " suara merdu Kanaye bernyanyi sambil menepuk tangan.

Aku tersenyum. Ia melepaskan sarung tangannya lalu mengambil sepotong waffle dan menyuapiku. Ia tertawa senang. Beberapa kali kami saling menyuapi. Sampai waffle dipiring kami habis. Kanaye menatap ke luar.

" Kau suka duduk disini. Dan suka menatap ke luar. Apa ada yang menarik disana? " tanyaku.

" Tidak. Aku hanya suka menatap pemandangan dari sini saja! Seperti kau bisa melihat salju yang turun malam ini dan lampu jalan yang berwarna-warni. " jawab Kanaye.

Aku diam saja mendengarkan. Lilin dimeja sudah hampir habis. Malam pasti sudah sangat larut.

" Kau bisa bernyanyi? Nyanyikan sebuah lagu untukku! " pinta Kanaye sambil tersenyum.

" Aku tidak pandai bernyanyi! " jawabku.

" Tidak pandai berarti bisa! Ayo nyanyi untukku! " kata Kanaye.

" Tapi kita harus pulang. Lilinnya sudah hampir habis dan malam sudah larut! " aku menolak dengan halus.

" Baik. Kalau begitu aku akan mendengarmu bernyanyi diperjalanan pulang! " ujar Kanaye. Ia mulai mengenakan kembali sarung tangannya.
Aku sudah kewalahan menjawab gadis yang sepertinya tidak pernah kehilangan akal ini.


Dalam cuaca sedingin ini pun ia masih bisa berjalan sambil berputar-putar tanpa terpeleset seperti penari balet. Ia seperti tidak kenal lelah. Dan terus memintaku bernyanyi. Aku duduk disebuah bangku ditepi jalan. Tanganku masih terselip didalam saku mantelku. Kanaye duduk disampingku. Aku merasa seperti akan membeku. Kanaye menatapku dengan seksama.

" Kau baik-baik saja? Kau nampak pucat! " tanyanya.

" Aku baik. Hanya merasa agak kedinginan. " jawabku.

" Kau harus cepat pulang! Ayo.. Aku antar sampai dirumahmu! " kata Kanaye serius.

" Tidak. Ini sudah sangat malam. Kau tidak bisa pulang sendiri. " tolakku.

" Jangan membantah. Kalau kau tidak cepat pulang dan menghangatkan diri, kau bisa pingsan dijalan. Dan aku yang akan lebih repot nantinya. Ayo cepat jalan! " kata Kanaye lebih tegas dari biasanya.

Aku menuruti. Ia melingkarkan tangan kananku ke lehernya bermaksud memapahku. Tanganku mengenai pipinya, ia bergidik.
" Tanganmu dingin sekali! " serunya.

Ia lalu memperhatikan tanganku. Membandingkan dengan tangannya yang kecil. Kemudian memasukkan kembali ke saku mantelku. Ia merangkul lenganku dan berjalan sangat dekat menempel padaku. Aku sungguh senang. Seandainya aku bisa terus memeluknya.


***



Aku bangun dengan tubuh yang lebih segar. Tidurku sangat nyenyak sampai begitu siang aku bangun. Enggan rasanya meninggalkan tempat tidurku yang nyaman. Aku sudah rapi dan keluar dari kamar. Ibu sedang memasak sup didapur.

" Kau sudah bangun, Naoki? Ayo makan dulu selagi hangat. " kata ibu sambil menyiapkan semangkuk sup ke atas meja.

" Terima kasih, bu! " balasku.

" Kau mau kerja? Apa sudah sehat? " tanya ibu.

" Aku baik-baik saja. Ibu kan tahu aku hanya tidak mampu dengan cuaca yang dingin. " jawabku.

" Nanti malam jangan pulang terlalu larut! Selesai bekerja segeralah pulang. Oh iya siapa gadis yang mengantarmu semalam? Apa ia pacarmu? " tanya ibu.

Pertanyaan itu membuatku tersedak dan terbatuk-batuk.
" Bu.. Bukan. Dia temanku, bu! " jawabku cepat-cepat.

" Oooo.. Ibu pikir dia pacarmu! Dia terlihat khawatir sekali padamu! " ujar ibu sambil tersenyum.

Aku tidak berkata apa-apa lagi. Kemarin aku memang berniat mengatakan perasaanku tapi ternyata keberanianku tidak cukup. Selesai menghabiskan sup ku aku pamit keluar pada ibu.
Aku masih sangat menyayangkan kesempatan semalam. Kapan aku punya keberanian untuk mengatakan perasaanku pada Kanaye? Apakah yang dikatakan ibu benar, ia begitu khawatir padaku? Khawatir kalau aku akan pingsan dan merepotkannya kah? Aku benar-benar bingung.
Natal semakin dekat hanya tinggal beberapa hari. Apa aku harus memberikan sebuah kado Natal untuk Kanaye? Tapi apa yang harus aku berikan padanya?

" Hey, kalau berjalan jangan sambil melamun! " seru seorang gadis yang entah sejak kapan sudah ada disampingku.

" Kanaye! " ujarku.

" Berikan tanganmu! " pinta Kanaye.

" Untuk apa? " tanyaku. Tanganku hangat didalam saku mantelku.

" Sudah berikan saja! " ia memaksa.

Aku keluarkan sebelah tanganku padanya. Ia lalu memakaikan sebuah sarung tangan tebal berwarna merah maroon ditanganku. Pas sekali.

" Sebelahnya.. " pintanya.

Dan aku menuruti. Ia memakaikan satunya. Dan tersenyum puas setelah itu.
" Sekarang kau tidak akan kedinginan lagi! " katanya.

Ia juga melingkarkan sehelai syal berwarna sama dengan inisial namaku disalah satu ujungnya.
" Kenapa merah? " tanyaku.

" Ini warna merah maroon. Bukan merah! " jawab Kanaye.

" Lalu? " tanyaku lagi.

" Lalu?! Berhentilah bertanya dan pastikan dirimu hangat! " jawab Kanaye.

Aku tidak bertanya lagi. Dan sarung tangan ini memang cukup hangat.
" Aku tidak akan datang malam ini. Kau tahu Natal semakin dekat dan ada beberapa hal yang harus ku siapkan! Jadi jaga dirimu. " pesan Kanaye.

" Kapan anak muridmu akan tampil? " tanyaku.

" Tanggal 24 desember. Pertunjukan akan dimulai pukul 5 sore. " jawab Kanaye.

" Aku akan datang! " janjiku.

" Jangan terlalu memaksa kalau tidak bisa. Kau masih kerja dihari itu kan? " tanya Kanaye dengan perhatian.

" Aku bisa pulang lebih awal! " jawabku.

Kanaye tersenyum.
" Baiklah sampai bertemu lagi. Aku harus pergi! Bye... " pamitnya.

" Bye.. " aku balas melambaikan tangan.
Kanaye pergi dengan terburu-buru. Aku mungkin tidak akan bertemu dengannya sampai beberapa hari kedepan.



Aku tiba di cafe. Tory langsung menghampiriku.
" Bagaimana acaramu tadi malam? Kau sudah katakan padanya? " tanyanya langsung.

" Tidak. Acaranya berjalan lancar. Tapi aku gagal mengatakan perasaanku padanya. " jawabku.

" Oooo.. Sayang sekali! Tidak apa, masih ada kesempatan. Berikutnya kau harus lebih berani! " Tory menyemangati.

" Ya. Ini kuncimu, terima kasih untuk semuanya! " balasku sambil menyerahkan kunci milik Tory.

" Sama-sama! " balas Tory. Dan aku kembali bekerja.


***


Ya, beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan Kanaye. Ia pasti sangat sibuk sekali. Meskipun begitu sibuk ia masih sempat memikirkan keadaanku. Begitu baik sampai repot-repot memberikan sarung tangan dan syal hanya agar aku merasa hangat. Apa ia begitu khawatir aku kedinginan lalu pingsan dijalan? Aku tersenyum sendiri memikirkan hal itu. Aku harus segera mengatakan perasaanku kalau begitu.
Besok tanggal 24, aku pasti akan datang menonton acaranya. Aku berharap akan bertemu dengannya hari ini. Apa ia akan datang malam ini? Semoga saja.
Aku selesai dengan semua pekerjaanku. Aku membawa dua kantong sampah ke luar menuju pintu belakang cafe. Membuang kantong sampah itu kedalam bak besar. Lalu berjalan memutar kembali ke jalan. Jalanan kota sudah berubah menjadi putih sebagian. Mendekati depan cafe aku melihat seorang gadis berdiri menunggu. Aku mempercepat langkah.

" Kanaye! " panggilku.

" Naoki.. " balas Kanaye.

" Kau sudah tidak sibuk malam ini? " tanyaku berbasa-basi.

" Kesibukanku sudah selesai. Setelah besok, aku sudah bisa santai sepenuhnya! " jawab Kanaye.

" Jadi sudah bisa libur ya! " kataku.

" Begitulah.. Aku berencana melewati tahun baru di Hokaido. Berkumpul bersama orang tuaku. " jelas Kanaye.

" Ya, ide bagus. Merayakan tahun baru berkumpul bersama keluarga. " aku menimpali.

" Kau mau ikut juga boleh! " Kanaye menawari sambil tersenyum.

" Aku?? Ah jangan bercanda. Aku tidak punya saudara disana! " tolakku.

" Kau bisa tinggal dirumahku! " kata Kanaye enteng.

" Heeehh.. Tidak, terima kasih. Mungkin lain kali! " jawabku. Ya mungkin setelah aku resmi jadi pacarnya!? Hehehehe.. Pikiranku. Aneh rasanya seorang teman laki-laki berlibur dan menginap dirumah teman wanita.

" Ya sudah. Tapi kalau kau berubah pikiran katakan padaku ya! " goda Kanaye sambil mengedipkan sebelah mata.

" Ya, ya.. " jawabku.


Perjalanan kami terhenti ditengah jalan. Menyaksikan kawanan remaja berpakaian santa bernyanyi Acapela, menyenandungkan lagu Natal. Ada pula Santa yang berdiri ditepi jalan membagikan permen dan coklat pada anak-anak yang lewat. Kami duduk di tepi bangku jalan. Kemudian seorang pemain gitar berbusana ala santa mendekat dan bernyanyi untuk kami. Kanaye menyambut antusias dengan tepuk tangan. Pemain gitar itu merasa tersanjung. Setelah ia selesai dengan lagunya aku iseng-iseng meminjam gitarnya. Dan mulai memetikkan sebuah lagu Natal yang sudah ku hafal.
Dengan suara pas-pasan ku nyanyikan lagu itu. Kanaye terus memperhatikanku dengan wajah berseri-seri. Selesai bernyanyi ku kembalikan gitar itu pada si pemiliknya beserta beberapa uang kecil.

" Kau bisa bernyanyi dengan bagus! " puji Kanaye.

" Tidak sebagus dirimu! " aku balas memuji.

Kanaye tertawa.
" Ayo pulang. Aku tidak mau kau kedinginan! " ajaknya.

" Oh ya terima kasih hadiahnya! " kataku. Kayane tersenyum.
Lalu kami beranjak pergi. Aku mengantarnya pulang terlebih dulu setelah memastikan padanya aku cukup kuat.


***


Aku masuk kerja lebih awal hari ini. Di karenakan aku ingin pulang lebih cepat. Aku tidak mau melewatkan penampilan Kanaye. Aku juga sudah memberitahu Tory dan bos. Beruntung mereka juga mengijinkan.
Jam 4.30 sore aku selesai kerja. Aku langsung menuju ke gedung teater yang tak jauh dari cafe. Setelah membeli karcis aku memilih tempat duduk yang agak strategis supaya bisa melihat Kanaye lebih jelas. Tapi sayang tempat duduk didepan sudah terisi penuh. Banyak sekali penonton yang datang. Jadi aku duduk ditempat kosong yang lain.
Tepat pukul 5 sore acara dimulai. Acara dibuka dengan paduan suara dari sekelompok remaja. Setelah kelompok remaja itu membawakan beberapa lagu, giliran anak murid Kanaye yang tampil. Kanaye duduk dibalik piano sambil memainkan musik. Sedangkan anak-anak kecil bernyanyi dengan riang. Meski Kanaye hanya mengiringi musik saja tapi di mataku ia nampak mempesona. Dengan sorot lampu yang mengarah padanya, ia benar-benar seperti malaikat diterangi cahaya. Aku benar-benar harus mengatakan perasaanku padanya. Ya, sudah ku putuskan.. Aku akan mengutarakan perasaanku setelah pertunjukkan ini selesai.
Mereka membawa beberapa lagu lalu berganti dengan kelompok lain yang membawakan tarian. Pertunjukkan selesai pukul 7 malam. Kanaye pasti keluar lewat pintu belakang. Aku harus berdesakan dengan penonton lain keluar lebih dulu. Aku akan menunggunya didepan pintu gerbang. Tapi aku butuh sesuatu untuk diberikan padanya. Aku sudah berada diluar dan menatap ke sekeliling jalan. Nah ada penjual bunga diseberang jalan. Aku menyeberangi jalan raya menuju ke tempat penjual bunga. Aku memilih beberapa tangkai Kastuba. Sambil menunggu si penjual membungkus bunga itu. Dari seberang jalan sana aku melihat Kanaye keluar dari gerbang bersama sekelompok anak kecil. Ia berbicara pada mereka. Lalu mereka berdiri menunggu disana. Si penjual bunga menyerahkan bunga yang telah rapi dibungkus padaku, aku lalu membayarnya. Saat aku hendak menyeberang kembali ke tempat Kanaye berada. Aku tidak melihatnya lagi, hanya beberapa anak kecil. Lalu pandanganku beralih ke tengah jalan, dimana Kanaye berlari mengejar seorang anak kecil yang memisahkan diri dari kelompok. Kanaye masih berusaha mengejar anak kecil tersebut yang sudah sampai ditengah jalan raya. Aku segera kesana. Tapi jalanan terlalu ramai untuk cepat sampai.
Kanaye berhasil mendapatkan anak kecil tersebut tapi ia tak sempat mengelak saat sebuah mobil melaju ke arahnya. Kanaye mendorong anak kecil itu ke tepi jalan, anak kecil tersebut selamat. Namun Kanaye tertabrak.
Kerumunan orang langsung ramai memenuhi tempat kejadian. Kakiku tiba-tiba terasa berat. Bunga yang ku pegang merosot jatuh dari tanganku. Aku segera berlari menerobos orang-orang yang berdiri melihat. Aku menemukan Kanaye bersimbah darah. Aku memanggilnya berkali-kali, menepuk-nepuk pipinya tapi ia tak juga sadarkan diri. Ambulance datang dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Aku segera menghubungi kakaknya. Sepanjang perjalanan aku terus berdoa semoga ia baik-baik saja. Begitu banyak darah keluar dari kepalanya. Tanganku seperti mati rasa oleh dinginnya udara.


Aku menunggu dengan cemas diluar ruang ICU sementara tim medis berusaha menolong Kanaye. Kakaknya datang tak lama kemudian. Kakak perempuannya yang baru kali ini ku lihat. Aku tidak pernah tahu mereka begitu mirip. Ia juga nampak cemas sama sepertiku. Kami hanya berbicara sedikit dan saling terdiam. Aku terus berdoa dalam hati.
Kemudian dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan kakak Kanaye langsung menghampiri dokter menanyakan kondisi Kanaye. Dokter menggeleng dengan lemah lalu melangkah pergi. Sebuah petir terasa menyambar diatas kepalaku. Aku tak percaya Kanaye pergi untuk selamanya. Kenapa begitu cepat? Aku bahkan belum mengatakan perasaanku padanya? Ingin sekali aku marah tapi tak ada gunanya. Aku tersungkur dengan penuh kesedihan. Mencoba menahan air mata untuk tidak keluar tapi aku gagal. Sementara di depan ku tangis kakak Kanaye sudah pecah. Ia menangis tersedu-sedu. Di sela kesedihannya ia menghubungi orang tua nya dan mengabarkan berita duka ini. Entah bagaimana reaksi orang tua nya disana. Mereka pasti jauh lebih terpukul dari pada aku.

Aku mengintip kedalam ruang ICU. Beberapa tim medis sedang melepas alat bantu yang masih menempel ditubuh Kanaye. Gadis itu terbaring tak bergerak disana. Malaikatku sudah kembali ke surga. Air mata kembali menetes membasahi pipiku. Inilah hari terakhir aku melihatnya, malam terakhir sebelum Natal.


*****



Hokaido, Desember 2006



Ku sapu gundukan salju yang menutupi hampir seluruh bagian atas nisan itu. Nama Kanaye terukir diatasnya. Ya ini makam Kanaye. Sudah tujuh tahun sejak kepergiannya. Setiap tahun aku selalu sempatkan datang kesini. Ku letakkan seikat bunga Ume diatas makamnya. Tak ada yang bisa ku katakan. Aku hanya diam memandangi nama yang terukir disana.
Setelah peristiwa malam itu, butuh waktu lama untuk kembali bangkit dari kesedihan. Perasaanku sudah terkubur bersama dirinya. Selamanya hanya akan terpendam didasar hati. Menyesal pun tidak ada gunanya. Aku hanya bisa mendoakan dirinya tenang di alam sana. Malam terakhir sebelum Natal adalah kenangan terakhir bagiku. Selamat tinggal, Kanaye!
Ini sebuah pelajaran bagiku, kumpulkan keberanian dan jangan menunda! Katakan padanya kau mencintainya. Tunjukan padanya! Mungkin besok sudah terlambat. Meskipun bila akhirnya tidak akan bersama, paling tidak ia tahu perasaanmu padanya!


= The End =

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wo Yi Wei (我以为) Lirik & terjemahan

Cinta Apa Adanya

Poem: Malam