Cerpen: Duniaku yang Sempit

Duniaku yang Sempit


Orang-orang selalu berkata dunia ini luas. Memang, dunia sangat luas. Terlampau luas untuk di jelajahi sendiri. Dengan segala hiruk-pikuk manusia yang menjadi penghuninya. Dunia ini kadang menjadi begitu berisik.
Terdengar jelas suara teriakan dari arah luar lorong kamar apartemen. Entah sudah ke berapa kalinya sepasang suami istri itu bertengkar dan selalu di akhiri dengan sang suami meninggalkan rumah di ikuti teriakan istrinya. Semua penghuni apartemen di lantai sepuluh ini sepertinya sudah terbiasa dengan kebisingan ini.
Aku berdiri diam di atas balkon kamar apartemen. Memandang hiruk-pikuk suasana kota yang berada di bawahnya.  Kemudian menengadah ke atas. Langit yang begitu tinggi membentang luas seolah tidak memiliki ujung. Dunia ini memang sangat besar dan luas. Dan aku hanyalah sebuah titik kecil yang tidak begitu berarti. Begitu tidak berartinya sampai hilang dalam ingatan beberapa orang.
Langit mulai meredup. Aku melangkah masuk kembali ke kamar. Menutup pintu kaca di balkon dengan rapat. Aku membalikkan badan. Berjalan ke arah kasur kemudian melemparkan tubuhku ke atas kasur yang empuk itu. Mataku langsung tertuju ke langit-langit ruangan kamar yang penuh dekorasi bintang glow in the dark. Nah, inilah kamarku. Dunia ku yang sempit. 
Aku baru hendak memejamkan mata saat bunyi pesan singkat di ponsel menyadarkanku. Aku meraih ponsel itu mengecek siapa yang mengirimi ku pesan. Rupanya hanya pesan dari operator kartu selular. Begitu banyak pesan dari operator kartu selular yang ku abaikan. Bahkan tidak ku buka apa isi pesannya. Aku lalu beralih ke aplikasi WA. Ah, tidak ada yang mencari ku. Kadang aku berpikir alangkah baiknya jika mereka yang di kontak WA ini juga sering mengirim pesan. Tidak melulu pesan dari operator kartu selular saja. Hihihi.... Tapi jangan terlalu berharap, itu kejadian yang langka. Sebab jika bukan aku yang memulai obrolan tidak akan ada yang menghubungi duluan. Benar kata orang, semakin dewasa semakin sedikit teman, semakin sedikit obrolan. Meski aku berusaha memulai obrolan memikirkan topik pembicaraan, itu pun tidak akan berlangsung lama. Akhirnya pasti mereka menyudahi obrolan dengan alibi sibuk. Entahlah apa aku semembosankan itu.
Aku tahu memang semua orang memiliki kesibukan, tapi yah begitulah.... Pada akhirnya aku harus sadar diri untuk tidak lagi mengganggu. Kontak-kontak di dalam ponsel pun hanya menjadi sebuah pajangan. Itulah mengapa kadang kala kita perlu hilang dalam kehidupan seseorang. Jika kehadiran kita tidak berarti atau malah menganggu.


***


Berjalan di lorong apartemen.

" Pagi, Ellena! " sapa Mindy, tetangga sebelah yang tiga tahun lebih muda dari ku.

" Pagi, Mindy! Dari mana pagi-pagi begini? " balasku karena sepertinya ia baru pulang dari luar.

" Belanja di pasar! Persediaan di kulkas sudah mau habis. " jawab Mindy.

Aku tersenyum sambil mengangguk.
" Aku jalan dulu ya! "

" Oke! " jawab Mindy.

Kemudian aku berpapasan dengan tetangga di sebelah apartemen Mindy.
" Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Morrison! " sapa ku.

" Pagi, Ellena! " jawab Tuan Morrison.

" Pagi, Ellena. Sudah mau berangkat kerja? " tanya Nyonya Morrison.

" Iya. " jawabku.

" Hati-hatilah di jalan! " pesan Nyonya Morrison.

Aku mengangguk dan berpamitan pada kedua orang tua itu.
Aku sampai di lantai dasar apartemen dan bertemu security yang biasa berjaga.

" Pagi, Pak Will! " sapa ku sambil berjalan.

" Pagi, nona Ellena! Semoga harimu menyenangkan! " balas Pak Will cepat.

" Terima kasih! Kau juga, Pak Will! " kata ku sambil mendorong pintu kaca dan ke luar meninggalkan gedung apartemen.



Begitulah kehidupan pagi ku di mulai.  Berangkat kerja di pagi hari sambil menyapa para tetangga yang kebetulan berpapasan di lorong apartemen. Hanya sekedar menyapa. Sebagai tetangga dan penghuni apartemen yang baik. Meski pun tidak sering bertemu setidaknya harus saling mengenal bukan?!
Aku bekerja di sebuah minimarket sebagai kasir. Bukan pekerjaan dengan gaji besar tapi cukup untuk menghidupi diriku. Di sini aku memiliki seorang sahabat bernama Yunqi. Ya, dari belasan orang yang ku kenal bekerja di sini, hanya dia yang paling dekat denganku. Aku merasa mereka tidak cocok denganku atau sebaliknya. 
Sahabat ku itu pernah berkata, " Lebih baik membangun jembatan dari pada tembok! ". Tapi aku berpikir tembok lebih baik dari pada jembatan. Semakin tinggi semakin aman. Setidaknya tembok melindungi diri dari orang-orang yang hanya datang membawa luka. Juga dari perasaan sakit hati dan kecewa. Meski pun kadang kala ada rasa sepi yang menyelimuti diri. Itu lebih baik dari pada menahan rasa sakit.
Ya, aku cukup merasakan semua kepedihan itu. Saat begitu dekatnya dengan seseorang, begitu percaya padanya, namun ia justru berpaling atau menganggap ku bukan siapa-siapa. Aku jadi lebih selektif juga memilih teman. Tidak semua bisa menjaga 'jembatan' kepercayaan itu agar tetap berdiri kokoh. Beberapa justru menghancurkannya atau memanfaatkan nya untuk kepentingan sendiri.


" Apa yang kau pikirkan, Ellena? " Yunqi menyikut lenganku.

" Tidak memikirkan apa-apa. " jawabku.

Yunqi menatapku dengan kedua alis terangkat. Terlihat dia tidak puas dengan jawabanku.
" Baiklah! Nanti pulang kita pergi makan Char Kwee Tiaw ya! " ajaknya.

" Oke! " aku mengiyakan.


Kami berdua baru saja menghabiskan sepiring Char Kwee Tiaw. Makanan favorit kami. Yunqi menyedot minumannya.
" Jadi kau tidak ingin cerita padaku? " tanyanya.

" Hah?! " Aku melongo. Gadis di depanku ini sepertinya tidak bisa membiarkan ku diam dengan pikiran ku sebentar.

" Hah apa? Kau kan tahu aku bisa menebak perubahan wajahmu. " goda Yunqi sambil menyunggingkan senyum.

" Sudah ku bilang tidak ada masalah. Aku hanya terpikir ucapanmu tentang 'jembatan dan tembok' saja. " terang ku.

" Hmm.. " Yunqi menatapku sambil bergumam.

Aku menghela nafas.
" Aku bukan arsitek jembatan yang baik, kau tahu itu! "

" Bagaimana hubunganmu dengan para tetangga di apartemenmu? " tanya Yunqi.

" Biasa saja. Kami saling menyapa ketika berpapasan. Sedikit berbasa-basi kadang. " jawab ku.

" Lalu dengan teman-teman di tempat kerja kita?! " tanya Yunqi lagi.

" Seperti yang kau lihat. Kita semua berteman tanpa masalah kan?! Hanya saja kau yang paling dekat denganku! " jelasku.

" Jembatan masih sedang dalam tahap perbaikan. Kau hanya perlu menurunkan sedikit tembok mu! " ujar Yunqi.

" Hah?! " Aku melongo.

Yunqi menahan senyum.
" Ellena, tinggal di lingkungan yang nyaman dengan tetangga yang baik, itu adalah sebuah keberuntungan. Meski tidak akrab, bisa saling mengenal satu sama lain, dan menyempatkan diri berbasa-basi itu juga sudah sangat baik. Bertemu teman-teman baru di tempat kerja, tidak dekat asal tidak saling bermusuhan atau menjatuhkan, itu juga keberuntungan. "

" Dan memiliki sahabat baik sepertimu merupakan keberuntungan yang tak ternilai. " sambung ku.

Yunqi tertawa. Ia kemudian berkata,
" Kita bertemu banyak orang di luar sana. Memang tidak semua orang bisa menetap di hati kita untuk waktu lama. Tidak semua bisa tinggal dan menjadi sahabat kita, bahkan keluarga dan saudara pun sering membuat kita terluka bahkan meninggalkan kita. "

" Ya, beruntunglah mereka yang selalu mendapat dukungan dari keluarga dan saudara. Tidak seperti ku. " ujar ku.

" Aish.. kau mungkin tidak memiliki keluarga yang seperti itu. Tapi bukan berarti kau orang yang malang. Sekarang lihatlah dirimu, lihat orang di sekelilingmu, apa kau masih bisa menganggap dirimu kurang beruntung?!  Kau hanya lahir di keluarga yang broken, itu hanya satu kemalangan. Tapi coba kau hitung berapa banyak keberuntungan yang kau miliki sekarang. " Yunqi mengingatkan.

Aku menatapnya dengan diam.

" Kau tidak bisa menghitungnya! Wkwkwk..... " Yunqi malah terkekeh.

" Kau menang! " ucapku.

" Apa kau masih ingin membangun jembatan atau tembok yang tinggi, itu terserah padamu. Tembok yang tidak terlalu tinggi mungkin baik dengan jembatan gantung sebagai penghubungnya. Jembatan gantung akan bergoyang ketika tertiup angin. Itu mencerminkan kepribadian yang sulit di dekati, namun bila berhasil sampai di dalam tembok akan menemukan taman bunga yang indah. Itulah dirimu! " Yunqi mengumpakannya sambil menunjukkan senyum termanisnya padaku.

" Luar biasa! Aku memang beruntung memiliki sahabat sepertimu! Kau benar-benar tidak ada duanya. " puji ku.

Yunqi tersenyum lagi.
" Mulai sekarang jangan merasa kau adalah orang yang malang. Semalang-malangnya gelandang masih memiliki sedikit keberuntungan dari orang-orang yang peduli. " ucapnya.

Aku tersenyum. Yang di katakan Yunqi memang ada benarnya. Mungkin aku yang terlalu pesimis. Padahal aku memiliki sahabat sepertinya. Aku harus lebih banyak bersyukur. Di dunia yang begini luas dapat bertemu seseorang seperti Yunqi yang sangat memahami ku. Dunia ku yang sempit ini menjadi sedikit lebih berarti.


***


Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak bisa hidup sendiri. Kita pasti membutuhkan bantuan orang lain,  seperti aku sekarang ini.

" Pak Will! Wastafel cuci piring ku tersumbat! Air tidak bisa turun, aku tidak bisa mencuci. Apa Pak Will bisa membantu ku? " tanya ku pada Pak Will di tempat jaganya.

" Maaf sekali. Tapi aku tidak bisa membantumu, nona Ellena. Tidak ada yang berjaga di sini. Aku tidak bisa meninggalkan tempatku. Begini saja, aku akan menghubungi tukang ledeng untukmu! " jawab Pak Will.

" Baiklah. Suruh tukangnya cepat datang! " desakku.

Sementara Pak Will mencari nomor tukang ledeng kemudian menghubunginya. Aku menunggu di depan mejanya.

" Maaf, nona Ellena! Kebetulan ini hari libur, jadi tidak ada tukang yang bekerja. Kau harus menunggu sampai besok. " jelas Pak Will setelah menutup teleponnya.

" Aduh! Besok aku juga harus bekerja! " ucap ku.

Saat itu dari pintu gedung apartemen masuk seorang pemuda.
" Siang, Pak! " sapa pemuda itu pada Pak Will.

" Tuan muda, tunggu! Ada paket untukmu! " panggil Pak Will.

Pemuda itu berhenti dan mendekati meja Pak Will.

" Untuk Matthew. " Pak Will menyodorkan sebuah paket kotak berukuran sedang padanya.

" Ya, itu untukku. Terima kasih, Pak! " ucap pemuda bernama Matthew itu. Ia mengambil paketnya kemudian menatap ku yang kebetulan berdiri di sampingnya.
" Nona tinggal di apartemen ini juga? "

" Iya. " jawabku.

" Sepertinya belum pernah bertemu.  Aku Matthew! " Pemuda itu mengulurkan tangannya padaku.

" Ellena. " balas ku.

" Tuan muda Matthew ini baru pindah ke lantai delapan. " Pak Will menimpali.

" Benar. Aku baru tiga hari di sini. Nona Ellena di lantai berapa? " tanya Matthew.

" Aku di lantai sepuluh. " jawabku.

" Oh harus naik dua lantai lagi ke atas. " gumam Matthew.

" Ya. " kata ku singkat.

" Jadi nona Ellena, bagaimana? Apa kau mau menunggu besok? Aku bisa buatkan janji dulu jika kau mau. " tanya Pak Will pada ku.

" Maaf, apa ada masalah? Tidak keberatan jika aku tahu kan? " tanya Matthew dengan sopan.

Lantas Pak Will yang menceritakannya pada Matthew. Aku sesekali ikut menimpali.

" Oh begitu. Jika tidak keberatan bolehkah aku memeriksanya dulu, nona? Mungkin aku bisa membantu! Jadi kau tidak perlu menunggu tukang ledeng sampai besok. " Matthew menawarkan bantuan.

Pak Will menatapku sambil memberi isyarat yang menyuruhku menerimanya saja.

" Ee.. baiklah. Jika tidak merepotkanmu! " aku menerimanya juga.

" Kalau begitu mari kita ke sana! " ajak Matthew.

Aku dan Matthew meninggalkan tempat Pak Will. Menuntun Matthew menuju ke kamar apartemen ku. Matthew langsung memeriksa wastafel yang tersumbat itu.

" Sepertinya memang tersumbat. Aku akan kembali ke kamarku untuk mengambil beberapa peralatan. Setelah itu kembali memperbaikinya. " kata Matthew.

" Iya. Sekali lagi maaf merepotkan. " ucapku tidak enak.

" Bukan masalah. " Matthew pun pergi. Dan beberapa saat kemudian kembali dengan beberapa peralatan.

Matthew langsung melakukan pekerjaannya. Pemuda tampan ini terlihat begitu cekatan.
" Ada sisa makanan yang jatuh yang membuatnya tersumbat. Tapi tenang saja sudah ku bersihkan. Wastafelmu sudah tidak tersumbat lagi. " jelasnya setelah semuanya beres.

" Terima kasih sekali. " ucapku.

" Tidak perlu sungkan. " balas Matthew. Ia sudah hendak pergi.

" Ee... Sebagai ucapan terima kasih, maukah kau duduk sebentar? Aku akan membuatkan minum. " tanyaku agak gugup. Bukan apa, ini pertama kali bertemu seorang pemuda yang baik hati mau menolongku.

" Maaf, nona bukannya aku tidak mau. Tapi aku ada sedikit pekerjaan lagi. Mungkin lain kali saja. Tidak apa kan? " tolak Matthew dengan halus.

" Ya, tidak apa-apa. Sekali lagi benar-benar maaf sudah merepotkan. Dan juga terima kasih banyak. " jawabku.

" Hahaha.... Tidak perlu begitu sungkan. Lain kali aku akan mampir lagi! Aku permisi dulu, nona! " pamit Matthew.

" Iya. " jawabku.

Begitulah akhirnya. Apakah kali ini aku harus membangun jembatan yang kokoh? Matthew mungkin hanya orang yang singgah sebentar di dalam dunia ku.



Sepulang bekerja aku pergi ke toko bakery. Membeli beberapa roti untuk di bawa pulang. Aku sampai di gedung apartemen. Seperti biasa Pak Will berjaga di tempatnya.

" Sore, Pak Will. " sapa ku.

" Sore, nona Ellena! Baru pulang bekerja? " tanyanya.

" Iya. "

" Ngomong-ngomong bagaimana dengan saluran wastafelmu? Apa sudah beres? " tanya Pak Will.

" Sudah. Matthew berhasil memperbaikinya. " jawab ku.

" Oh baguslah. " ujar Pak Will.

" Oya, Pak Will aku mau titip ini, tolong berikan pada Matthew. Sebagai ucapan terima kasih kemarin. " kataku sambil menyerahkan bungkusan kotak berisi roti pada Pak Will.

" Oke. Akan ku serahkan saat dia pulang nanti. " jawab Pak Will.

" Terima kasih. Ini juga sedikit untuk Pak Will. " kataku sambil menyodorkan bungkusan lain.

" Wah, tidak perlu repot-repot nona! Tapi terima kasih sekali! " ucap Pak Will.

" Kalau begitu aku permisi ya, Pak! " pamitku.

" Ya. Terima kasih lagi, nona! " ucap Pak Will.



Tiga hari kemudian, Aku sedang bersantai di balkon menikmati pemandangan malam yang indah. Lampu-lampu jalanan yang berwarna-warni dan bangunan nampak kecil di kejauhan. Hingga bunyi dari bel pintu membuatku beranjak. Aku segera pergi membuka pintu. Nampak Matthew berdiri di sana sambil memamerkan senyumnya.

" Selamat malam, nona Ellena! Apa aku menganggu? " tanya Matthew.

" Tidak. Masuklah! " suruhku.
" Duduklah! Akan ku buatkan minum. "

" Ya. " jawab Matthew.

Aku ke dapur menyiapkan dua cangkir minuman. Sebelumnya Matthew bilang akan mampir aku tak menyangka itu malam ini. Aku meletakkan secangkir minuman di depan Matthew dan mempersilahkannya minum. Matthew mengangkat cangkirnya dan minum.

" Terima kasih untuk roti yang kau berikan, nona Ellena! Semuanya enak. " ucap Matthew.

Aku tersenyum kecil.
" Sama-sama. Em...  Panggil nama ku saja, tidak perlu memanggil nona. " kataku.

" Baiklah. Jadi Ellena, kau tinggal sendiri di sini? " tanya Matthew.

" Iya. Lalu kau.... "

" Aku juga tinggal sendiri. Yah agak merepotkan harus tinggal sendiri. Semuanya harus di lakukan sendiri. " kata Matthew.

" Begitulah jika kita memutuskan hidup mandiri. Lama-lama juga akan terbiasa. " ujarku.

Waktu berlalu dengan obrolan-obrolan ringan seputar kegiatan kami. Matthew ternyata pemuda yang cukup menyenangkan. Apalagi ini pertama kalinya seorang pemuda berkunjung ke apartemen ku. Tapi dia bisa membuat ku merasa tidak canggung dengan candaannya. Dia juga memiliki sepasang lesung pipi yang membuatnya semakin tampan saat tersenyum. Kami bahkan mengobrol sampai lupa waktu.



Aku duduk melamun memikirkan kejadian semalam. Candaan Matthew yang lucu membuatku tersenyum sendiri tanpa sadar. Yunqi menatapku sambil terheran-heran.

" Sedang memikirkan apa hayo? " ejek Yunqi yang membuatku tiba-tiba tersadar.

" Eh tidak ada. " jawabku.

" Tidak ada tapi sambil senyum-senyum sendiri? Cepat ceritakan padaku ada hal apa yang terjadi? " desak Yunqi tak sabaran.

Aku pun menceritakan tentang kehadiran Matthew di apartemen ku. Yunqi mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Setelah aku selesai bercerita, Yunqi malah tersenyum-senyum padaku. Senyuman menggoda.

" Kenapa? " tanyaku.

" Sepertinya kau mengalami kemajuan. " goda Yunqi.

" Kemajuan apa? " tanyaku.

" Hehehe.... Kau sepertinya menyukai pemuda itu ya! " goda Yunqi lagi.

" Ap... Apa? Menyukai? Itu masih terlalu jauh, Yunqi. Aku baru beberapa hari kenal dengannya. Aku hanya menganggapnya teman yang enak di ajak ngobrol. " Aku segera meluruskan.

" Yang benar? Memikirkan teman bisa sampai tersenyum-senyum sendiri. Aku percaya! " Yunqi berkata dengan nada mengejek.

" Aish.... Yunqi! " sungutku.

" Ellena!? Kau bekerja di sini? " tiba-tiba suara yang ku kenal memanggil.

" Eh.... Matthew. Ya, aku memang bekerja di sini! Kenapa kau ada di sini? " jawabku. Oh apa ini kebetulan lagi.

" Aku mau belanja beberapa keperluan. Kemarin kau bilang bekerja di minimarket. Rupanya di minimarket ini. " kata Matthew dengan wajah ceria.

" Iya. " jawabku.

Sudah bisa di pastikan Yunqi sedang mengintip dari kejauhan.  Dia kembali mendekat setelah Matthew pergi.

" Jadi itu pemuda yang kau ceritakan? " tanyanya.

" Aku belum memberitahu mu nama pemuda itu. Bagaimana kau yakin itu dia? " aku balik tanya.

" Ckckck.... Ellena, aku sudah berapa lama mengenalmu? Semuanya terlihat jelas di wajahmu. Kau sangat antusias pada pemuda itu. Sepertinya tembokmu kali ini akan roboh. " kata Yunqi sambil tersenyum menyeringai.

" Ish.. kau ini.... "

" Ellena! " Matthew muncul lagi.

" Ah iya, kenapa kau kembali? Apa ada yang tertinggal? " Aku berusaha bersikap biasa.

" Tidak. Sebentar lagi kau pulang kan?! Maksudku kita bisa sekalian pulang bersama. " jelas Matthew nampak malu-malu.

Aku melirik Yunqi yang sedang menahan tawa. Lalu melirik jam tanganku.

" Setengah jam lagi jika kau mau menunggu. " jawabku pada Matthew.

" Kalau begitu aku tunggu di kedai minum di seberang jalan ya! " ujar Matthew.

" Baiklah! " jawabku.

Setelah Matthew pergi. Yunqi berkata,
" Sepertinya tidak lama lagi aku akan mendengar kabar baik. "

" Yunqi.... " Aku menatap sinis padanya. Yunqi kembali cekikikan.

Entahlah, kabar baik seperti apa yang di maksud Yunqi. Mungkinkah tembok yang ku bangun akan roboh semudah ini? Aku tidak ingin memikirkannya, juga tidak ingin berharap terlalu banyak. Membiarkan semuanya berjalan secara alami sebagaimana adanya. Barang kali adalah pilihan yang baik. Dengan kehadiran teman baru, mungkin rasa sepi ku sedikit terobati, mungkin hidup ku sedikit lebih berwarna. Meski pun aku belum memutuskan akan menggunakan jembatan yang mana, tetap tidak bisa terus menutup diri. Sekali lagi, kita tidak mungkin hidup sendiri. Bahkan di duniaku yang sempit ini, tetap membutuhkan beberapa orang untuk datang mengisi. Kedepannya aku akan belajar untuk lebih mencintai hidup dan memperluas duniaku ini.


Duniaku yang Sempit
Story by Eriza Yuu

MangaToon / NovelToon ID @Eriza Yuu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wo Yi Wei (我以为) Lirik & terjemahan

Cinta Apa Adanya

Poem: Malam